Nietzsche, Pasar, dan Tuhan
![]() |
Sumber Foto: radiandradi.com dan telah dimodifikasi oleh penulis |
Oleh: Hamdan eSA
Suatu ketika seorang gila membawa sebuah lentera menyala ke tengah pasar dan berseru terus tanpa henti: “Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!” Orang-orang di pasar itu menertawakannya remeh.
Tapi si gila malah melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka sambil berteriak: “Ke manakah Allah? Aku memberi tahu kalian. Kita sudah membunuhnya. Ya, kalian dan aku. Kita semua pembunuh. Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan? Siapa yang memberi kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah bumi bergerak sekarang? Ke manakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Tidakkah kita tenggelam terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala arah? Masih adakah naik atau turun? Tidakkah kita tersesat ke ketiadaan tak terhingga? Tidakkah kita menghirup ruang kosong? Allah sudah mati... Dan kita telah membunuhnya...”
Sesudah itu, Si Gila diam menatap para pendengarnya. Mereka pun membisu. Si Gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, lalu pergi, sambil berkata: “Saya datang terlalu dini. Waktuku belum sampai. Peristiwa luar biasa ini masih sedang menjelang,..”
Kisah tersebut dibuat oleh seorang filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dalam Aphorisme 12 buku Die frohliche Wissenschaft (Pengetahuan Ceria). Demikian F. Budi Hardiman menguraikan secara singkat.
Ada tiga hal yang cukup mengganggu pikiran dalam ceritra Nietzsche tersebut, yakni; Si Gila, pasar, dan Allah. Ketiganya dapat dihubungkan dalam suatu relasi melalui serumus tanya; mengapa orang gila mencari Tuhan ke pasar?
Si Gila semacam personifikasi dari suatu “keadaan kesadaran” seseorang akan hilangnya Tuhan dalam ruang sadarnya. Nietzsche tidak mengasosiasikan gila pada makna leksikal sebagai hilang atau rusaknya sistem kesadaran (sakitnya jiwa dan pikiran) seseorang.
Sebaliknya justru kesadaran sedang pada kondisi terbaiknya, sehingga seseorang berada dalam kesadaran tertingginya, betul-betul sedang mengalami dan menyadari sepenuhnya keadaan ketiadaan Tuhan di dalam pusat kesadarannya. “Aku mencari Allah... kemanakah Allah?” kata Si Gila. Allah telah hilang; apakah Dia “diusir pergi” meninggalkan kesadaran? Tidak! Tuhan telah “terbunuh”.
Ada perbedaan antara metafora “pergi” dan “terbunuh”. Yang pertama bermakna; Tuhan keluar dan menjadi unsur eksternal dari kesadaran, tetapi masih berpeluang untuk kembali hadir terintegrasi dalam kesadaran. Yang kedua bermakna; Tuhan telah tiada dan sangat tidak dikehendaki lagi kehadirannya dalam ruang sadar manusia.
Inilah yang hendak dikatakan Nietzsche; bahwa manusia di jaman ia hidup, mulai tidak lagi menghendaki Tuhan. Pada bagian akhir cerita Nietzsche menegaskan bahwa peristiwa ini masih sedang menjelang. Ini berarti Nietzsche sedang membincang masa depan disorot dari masanya.
Jika Si Gila merupakan personifikasi ruang sadar, maka “pasar” merupakan representasi ruang publik. Lalu, mengapa Si Gila membawa lentera menyala dalam pencariannya di tengah pasar, sementara pasar sedang berlangsung di siang benderang?
Pasar rupanya seisi ruang yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi. Jika dizoom lebih detil akan terlihat bahwa di dalam pasar, sungguh manusia tak ayal juga tak lebih dari sekedar mahluk individu yang sedang berkerumun. Bukan homosociety, bukan bersama dan bersatu dalam ikatan masyarakat.
Satu-satunya alasan terbentuknya pasar dan berkerumunnya manusia di sana adalah hasrat konsumsi, bukan Tuhan. Mungkin Tuhan ada di sana, tetapi dihadirkan menjadi bagian dari mekanisme bujuk rayu, sebagai iklan pemikat hasrat. Karena itulah, walaupun pasar berlangsung di siang benderang, tetap saja perlu lentera untuk memastikan; hadirkah Tuhan, samarkah Tuhan, hilangkah Tuhan?
Oleh karena Tuhan tak ditemukan di dalam ruang sadar dan ruang publik, maka Nietzsche mengumumkan jelangnya suatu masa yang tidak jauh. Masa dimana setiap manusia berada pada tingkat kesadaran universal; menyadari sesadar-sadarnya bahwa memang Tuhan telah tiada dalam segala dimensi kemanusiaan. Individu manusia berada dalam puncak otonominya. Agama dan moral hanyalah instrument untuk memenuhi tuntutan individual.
Kurang lebih dua abad sebelumnya, di masa renaissance Inggris, Bernard de Mandeville menerbitkan bukunya; Fable of Bees. Belajar dari kerumunan atau kawanan lebah, Mandeville menegaskan bahwa manusia hakekatnya adalah mahluk pengejar kepentingan diri sendiri. Bertindak secara moral, sesungguhnya bukan tindakan demi kesejahteraan orang lain, tetapi untuk kepentingan diri dan untuk lebih meyakinkan keunggulan diri sendiri atas orang lain.
Sekarang, raihlah lentera dan nyalakan. Lebih awal kita menentengnya masuk ke ruang sadar kita yang tersublim. Periksalah, masihkah Tuhan ada di dalamnya, samarkah wajahnya, atau memang telah tiada? Lakukan pula hal yang sama pada ruang publik kita; seperti apakah Tuhan diperlakukan? Jangan-jangan memang jaman kini dan kita inilah yang sesungguhnya sedang melakukan tindak “pembunuhan” terhadap Tuhan, baik terang-terangan maupun gelap-gelapan.
Banga, 10 Januari 2018.
Komentar