TUBUH, TEKS, SEKS
Tiga bulan
terakhir (sejak tulisan ini dibuat, Juni 2016), negeri kita menampilkan wajah muram campur geram setelah secara
berturut-turut melalui berbagai media, terkabar sejumlah peristiwa pemerkosaan dibarengi
pembunuhan sadis terhadap korban. Yuyun dan Enho cukup menjadi sampel.
Dalam
tahun 2015 sebagaimana dirilis Deutsche Welle, kekerasan seksual menurut
catatan Komnas Perempuan telah mencapai 321.752 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan dan ditangani. Pelakunya beragam, dari ABG hingga KBT
(Kakek Bau Tanah). Lalu publik mendidih, mendesakkan hukuman terberat terhadap
para pelaku. Ada yang mendesakkan hukuman mati, kebiri, dengan maksud memberi
efek jerah.
Bukankah
kita telah cukup memiliki sejumlah perangkat regulasi dan institusi yang
concern dalam bidang ini? Namun kenyataannya, tindak kekerasan seksual semakin
menjadi-jadi. Ide-ide yang mendesakkan “hukuman” menakut-nakuti tidak akan
menyelesaikan masalah. Hanya menebang cabangnya, tetapi pohon dan akarnya terus
kokoh.
Agama bahkan
telah menyiapkan perangkat hukuman yang akan menghadang pelaku pasca kematiannya
kelak, yakni neraka. Begitu dahsyatnya neraka, seseorang lebih memilih mati
kembali dari pada hidup dalam neraka. Di sanalah sakit, siksa dan derita
sungguh-sungguh bersinambung dan awet. Laa yamuutu wa laa yahyaa; tidak
hidup tapi juga tidak mati. Alam neraka yang super seram ini pun tidak ditakuti
lagi oleh manusia, tidak memberikan fungsi jerah.
Tubuh
bukan sekedar onggok daging biologis di mana akal, syahwat dan nyawa berumah di
dalamnya. Lebih dari itu, tubuh adalah teks yang dapat dibaca oleh setiap orang
dan dapat diinterpretasi dengan caranya masing-masing. Tubuh adalah instrument
komunikasi sosial. Seperti apa bacaan seseorang terhadap tubuh, tergantung
seperti apa pula “wajah” tubuh dihadirkan di hadapan pembacanya dan—ini yang
lebih penting— tergantung apa yang mendominasi semesta pandang sang pembaca.
Terhadap
pembaca yang didominasi oleh daya rasional, data-data tentang tubuh yang tertangkap
panca indera langsung terserap dan terolah di ruang akal sehat, ruang kesadaran
kritis. Terhadap pembaca yang didominasi oleh daya-daya fantasi, data tentang
tubuh juga akan diserap dan diolah di ruang fantasi. Hasil bacaannya dapat dipastikan
berbeda.
Tubuh
bukan sekedar rumah bagi jiwa, tapi juga bagi syahwat yang didesain berpasangan
(pairs) secara terpisah tapi saling mencari. Sebagaimana akal dan
imajinasi, syahwat berserta fantasinya tidak berjenis kelamin. Tubuhlah yang
berjenis kelamin berpasangan; kebudayaan menyebutnya masing-masing sebagai laki-laki
dan perempuan.
Akal dan
syahwat akan melakukan penyesuaian dirinya sendiri pada tubuh yang dihuninya. Akal
membangun kesadaran kritis; menerima dengan alasan atau menolak dengan alasan
interpretasi atas tubuh. Syahwat sifatnya menuntut keterpenuhan tanpa henti atas
fantasi yang lahir dari bacaan terhadap tubuh. Syahwat terbang bersama fantasi
menyerang dan mendominasi kesadaran kritis yang lemah dan membangun kesadaran
fantasi.
Persoalan
seks sesungguhnya adalah persoalan fantasi. Semakin intens dan jauh fantasi
mengembara ke mana-mana, semakin kuat ia memberi pengaruh dominan pada syahwat.
Semakin ia digelorakan, semikin pula ia menyingkirkan fungsi akal sehat, suara
hati, apalagi rasa takut.
Demikianlah
kata Dani Cavallaro dalam Critical and Cultural Theory; Thematic Variations,
tubuh menjadi dua system representasi saling jalin-menjalin dan tumpang tindih.
Tubuh di satu saat menjadi objek yang direpresentasikan diberbagai ruang dan di
saat yang sama tubuh adalah sebuah organisme yang dikelola untuk
merepresentasikan berbagai makna dan hasrat.
Lihatlah
di sekitar kita, ada banyak tubuh berjalan bagaikan bab-bab kitab yang
menyajikan narasi pembangkit fantasi. Tubuh fisik, tubuh citra, tubuh digital,
tubuh kapital, tubuh gaya, tubuh komoditi, seluruhnya bermuara ke tubuh seksual.
Kita sedang jelang era transisi dimana hasrat bebas lebih penting dari akal
sehat. Di sinilah benih pencurian kelamin itu dapat tumbuh.
Kita hanya
menghabiskan waktu dan tenaga menuntut hukuman mati atas tindak kekerasan seksual,
tetapi akar masalahnya ada pada tubuh kita sendiri. Bisa jadi setiap tubuh kita
turut berkontribusi terhadap penciptaan gelora fantasi dan kanal-kanal syahwat.
Ramadhan adalah moment memenangkan kembali akal kritis (sadar) untuk membaca
ulang tubuh kita.
Komentar