Election dan Imajinasi "Orang Baik"
Oleh: Hamdan eSA
Ada sebuah ungkapan amat menarik dari seorang saintis paling beken
seantero dunia, Albert Einstein, yang menurut saya ungkapan ini merupakan salah
satu ungkapan terindah; “Imagination is more important than knowledge. Knowledge
is limited. Imagination encircles the world”; imajinasi lebih penting dari
pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas.
Sedang imajinasi melingkupi dunia.
Bukankah temuan-temuan
para ilmuan jenius selalu di awali oleh imaginasi? Orville Wright dan Wilbur
Wright lebih awal berimajinasi tentang sebuah benda yang dapat terbang dalam
jangka waktu tertentu. Lalu, dengan sejumlah eksperimen mereka menyusun teori
dan membangun pengetahuan. Maka terciptalah pesawat terbang. Demikian pula dengan
saintis lainnya semisal; Rudolf Diesel, Blaise Pascal, Einstein, dan lain-lain.
Bukankah karya-karya seni
dunia yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia, tercipta melalui kekuatan
imajinasi? Sebutlah; Monalisa, karya lukis Leonardo Davinci; Hamlet,
karya drama William Shakespear; dan lain sebagainya. Tiada satu pun karya seni
yang tidak berawal dari imajinasi.
Yasraf dalam mengutip
Gilbert Ryle, menjelaskan terma imajinasi --berasal
dari kata image-- adalah mekanisme
psikologis manusia dalam melihat, melukiskan, membayangkan, atau memvisualkan
sesuatu di dalam struktur kesadaran, yang menghasilkan sebuah citra (image)
pada pikiran.
Imajinasi dengan demikian
merupakan struktur mental menyangkut bagaimana seseorang membuat lukisan atau
potret dunia (world picture) yang di dalamnya terkandung konsepsi,
representasi, dan makna dunia melalui sudut pandang, perasaan, logika, dan
keyakinan tertentu.
Lukisan atau potret
sesuatu di dalam mental itu sesungguhnya adalah bayang-bayang. Karena itu,
imajinasi juga merupakan bayang-bayang. Yang dibayangkan bisa bersifat internal
yakni; diri sendiri sebagai individu, kelompok, umat, bangsa, dan lain-lain.
Bayangan internal diri ini disebut self imagination.
Bisa pula yang dibayangkan
itu bersifat eksternal, yakni segala yang berada di luar; diri lain, orang
lain, kelompok lain, masyarakat lain, agama lain, makhluk lain, atau realitas
“yang lain”. Bayangan eksternal ini disebut other imaginations.
Persoalannya, sehebat
apapun imajinasi (citra, bayangan) yang terbangun, ia tetap berada dalam dunia
mental individu, ia tak terjangkau oleh kemampuan kolektif panca indera khalayak
(public).
Sebab itulah setiap
individu senantiasa memproduksi tanda (sign) yang mencitrakan dirinya
sendiri (self image), dan ditambatkan pada tubuh, gaya, prilaku, media, dan
lain sebagainya. Sign dapat berupa icon, index, atau symbol,
agar khalayak dapat memiliki deskripsi tentang self image sang individu.
Singkatnya, self image
diproduksi oleh individu atau kelompok untuk merepresentasikan dirinya sendiri
melalui sign dan ditangkap oleh panca idera khalayak. Lalu dengan segera
khalayak melahirkan others imaginations-nya masing-masing tentang
individu tadi.
Pada proses inilah
permainan imajinasi dapat dimulai, imajinasi dapat dikonstruksi sedemikian
hebat. Di sinilah imajinasi tentang “orang baik”, “yang terbaik”, “paling
layak”, dan lain-lain yang serupa dapat diciptakan untuk merebut hati khalayak.
Lalu bagaimana jika
imajinasi masuk ke dalam konteks pemilihan pemimpin (election)? Tradisi
pemilihan pemimpin di Indonesia masih meniscayakan satu kriteria ideal, yakni;
“orang baik”. Karakter baik inilah yang menjadi penilaian ideal keterpilihan (electability)
seseorang calon. Dengan asumsi bahwa sebuah bangsa atau daerah dapat hidup dengan baik jika
dipimpin oleh orang baik pula. Kualitas orang baik ini tentunya mencakup seluruh
aspek moral, intelektual dan agama.
Namun dalam sistem
demokrasi berbicara beda. Yang
menjadi syarat utama adalah “terpilih secara mayoritas”, bukan
moral, intelektual, dan agama. Artinya, suara mayoritas jauh lebih penting dari
kualitas “orang baik” (moral, inteleksi, dan agama). Karenanya dalam posisi
itu, “orang baik” hanya cocok menjadi sekedar instrumen pembantu pencapaian suara mayoritas,
sejajar dengan alat-alat lainnya semisal parpol dan uang. Alat-alat inilah yang
menjadi arena seksi bagi permainan imajinasi.
Hasil Jejak Pendapat Kompas yang dirilis 15 Januari 2018 baru lalu menyebutkan bahwa terpilihnya calon Kepala Daerah disebabkan empat hal yakni: memiliki kejujuran, gaya kepemimpinan yang kuat, religi yang sama, dan merakyat. Sepanjang kriteria “orang baik” masih menjadi alasan populer dan favorit bagi khalayak dalam memilih figur pemimpin, selama itu pula imajinasi “orang baik” menjadi relevan serta urgen. Dan karenanya, imajinasi "orang baik" menjadi alat bermain yang mengasikkan.
Imajinasi “orang baik”
perlu didesain dan di(re)konstruksi sedemikian rupa untuk merebut hati
khalayak. Maka tidak heran jika setiap kali menjelang hajatan pemilihan
pemimpin, bak jamur di musim hujan, bermunculan sejumlah figur “orang baik”. Kompetisi
orang baik tak dapat terelakkan. Lalu, permainan naik ke level imajinasi “orang
terbaik”.
Games imajinasi atau permaianan bayang-bayang “orang terbaik” yang
bertujuan membentuk citra serba baik, hanya bisa terhujam penuh ke lubuk terdalam
khalayak jika didukung oleh beragam proses “simulasi tanda”. Jean Paul
Baudrillard, seorang filosof Prancis, dalam bukunya “Simulacres et
Simulation”, mendeskripsikan tiga tahapan pokok yang saling berjalin dalam
dunia simulakrum tersebut.
Pertama; simulakra
menunjuk pada reproduksi (duplikasi) oleh sang subjek. Dalam tahapan ini,
antara realitas yang sesungguhnya dengan duplikasinya masih dapat dibedakan
satu sama lain. Khalayak masih dapat membedakan antara; iklan tentang orang terbaik
dengan orang baik sungguhan.
Kedua; simulasi
yang berarti aktivitas, pekerjaan atau tingkah tiruan. Tahapan ini, realitas referensi
terengkuh takluk oleh replikasi, keduanya melebur menghilangkan batasan hingga
tak dapat dibedakan, yang palsu menjadi betul-betul asli. Khalayak tak dapat membedakan
mana aktivtas, pekerjaan, atau tingkah tiruan dengan mana sungguhan.
Ketiga; hiperrealitas
yakni suatu kondisi dimana realitas simulasi tumbuh menjadi realitas
baru. Realitas referensi dan realitas replika atau palsu yang telah menyatu itu,
kemudian hilang dan mewujud sebagai realitas baru. Realitas yang melampaui
realitas, realitas berlapis yang lapisannya tanpa batas-batas. Khalayak dengan
penuh kesadaran nurani menemukan realitas baru.
Meski imajinasi lebih
penting dari pengetahuan, tetapi bermain imajinasi dalam hajatan pemilihan
pemimpin bangsa atau pemimpin daerah rasa-rasanya adalah permainan beresiko
tinggi (high risk). Para pengelola permainan imajinasi, memainkan
sejumlah bayang misalnya; manusia setengah dewa, figur kualitas terbaik, bangsa
maju, masyarakat sejahtera, merakyat, egaliter, dan sebagainya. Khalayak lalu
menjadi bagian aktif dalam permainan imajinasi itu karena terperangkap dalam jebak
pesona imajiner, fantasi bayang-banyang, dan kilau citra figur terbaik.
Kini terserah kita
masing-masing; mungkinkah Pemilu atau Pilkada yang rutin kita laksanakan hanya
akan terus tumbuh menjadi arena permainan pesona bayang imajinasi yang
mengantar kita berfantasi tentang “orang terbaik”, atau menjadi momen suci
untuk menentukan masa depan yang baik? Wallahu A’lam.
Komentar