Semangka, Saiful Jamil dan Cancel Culture
Oleh: Rahmatya (Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Unasman)
Dalam suatu kesempatan saya mampir membeli sebiji semangka di sebuah toko. Oleh penjualnya, buah tersebut diakui memiliki rasa manis dan warna merah menyala. Saat di rumah, ketika di iris, nyatanya semangka itu merah pucat dan terasa hambar.
Saya marah, kecewa dan
merasa dibohongi. Tentu saja karna pengalaman negatif yang saya rasakan itu, membuat
saya bersumpah untuk tidak melakukan hal yang sama ditempat manapun apalagi di
toko itu.
Beberapa hari setelahnya, teman kantor yang sedang hamil mengaku “ngindam” mangga muda. Dia meminta informasi toko buah yang recomended. Karna permintaan itu tiba-tiba pengalaman negatif yang tidak menyenangkan kemarin kembali mengganggu di benak saya.
Sebab itu saya justru tidak memberikan ia
info toko yang recommended,
melainkan menjelaskan kepadanya bahwa toko buah di depan pasar sangat ahli dalam memanipulasi pembeli. Lalu saya menceritakan
pengalaman kemarin. Dan teman saya ikut memutuskan untuk tidak membeli buah di toko itu,
padahal kami berdua sama-sama belum mencoba mangga muda yang dijual di toko buah itu.
***
Saya yakin di antara pembaca, masih ada yang tidak menyadari bahwa telah menerapkan cancel culture di dalam diri kita sendiri, sesederhana membeli sesuatu
di toko
tetapi tidak sesuai deskripsi yang dikatakan penjualnya. Saya yakin kita akan berfikir dua kali untuk kembali
membeli di toko itu. Atau sekedar mendengar ujaran kebencian tentang seseorang
kita jadi ikut membenci sesorang itu.
Cancel culture atau call cut culture
adalah budaya pembatalan atau boikot massal, Namun warganet lebih mengenal
budaya tersebut dengan sebutan cancel culture.
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Al Fahriz Fadillah dan Arifin pada tahun
2020, cancel culture adalah budaya
pembatalan, seperti sebuah ajakan atau hasutan massa untuk mencela individu
atau kelompok secara terbuka karna prilaku atau pendapat mereka yang berbeda
dari mayoritas.
Studi lain yang dilakukan oleh Saint-Louis pada tahun
2021; “Understanding Cancel Culture:
Normative and Unequal Sanctioning”, menjelaskan bahwa cancel culture telah
menjadi fenomena menarik di era virtual. Warganet dengan mudah menandai dan
mengucilkan individu yang dianggap melanggar norma di media sosial.
Di era yang kita jalani saat ini, media sosial sudah menjadi bagian dalam hidup kita. Bangun di pagi hari gadget menjadi hal pertama yang kita raih. Bahkan sampai kembali ke tempat tidur gadget menjadi hal terakhir yang kita lepaskan.
Media sosial menjadi wadah terbuka bagi setiap usernya untuk menyuarakan pendapat dan memberikan kritik mereka. Akibatnya kita seringkali main hakim sendiri atau menjadi judgemental apabila melihat sesuatu yang tidak kita sukai.
Kita tanpa sadar menghasut orang lain untuk ikut andil dalam membenci hal tersebut. Kita dengan mudah menilai seseorang hanya dari subjektivitas yang dipercaya tanpa tahu kebenarannya. Lebih jauh lagi sikap-sikap di atas bisa mendorong seseorang melakukan tindakan bullying.
Risiko bullying dan efeknya membuat banyak orang takut menyampaikan pendapat yang berbeda. Bila cancel culture ini menyerang tokoh publik atau selebriti tentu saja akan merusak image dan reputasi mereka. Meskipun tindakan cancel culture sering terjadi di dunia maya, tapi dampaknya tentu berpengaruh di dunia nyata.
Cancel culture atau yang biasa juga disebut cancelling people dapat disalah-gunakan, namun juga dampak memberikan efek positif apabila digunakan dengan semestinya. Efek jera yang ditimbulkannya dapat berfungsi sebagai kontrol sosial dalam bermasyarakat.
Sebagai tindakan, cancel culture sebenarnya sudah ada sejak dulu. Sebagai contoh, mungkin pembaca masih mengingat kasus yang menimpa sosok selebriti tanah air, Saipul Jamil, yang terbukti melakukan tindakan pelecehan terhadap anak di bawah umur tahun 2021 lalu. Tindakan itu membuat warganet kesal dan memberikan label negatif kepada Saipul Jamil.
Setelah bebas, ada banyak pihak yang melakukan glorifikasi atas kebebasannya. Hal ini memicu reaksi keras warganet sehingga mereka membuat dan menandatangani petisi online. Petisi tersebut meminta agar stasiun televisi tidak lagi menayangkan Saipul Jamil. Atas desakan publik ini, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengirimkan surat kepada delapan belas lebih stasiun televisi nasional untuk berhenti menayangkan Saiful Jamil. Tindakan warganet jelas berhasil, Saiful Jamil sudah tidak pernah muncul di stasiun televisi manapun.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa cancel culture
memiliki dampak yang kompleks dan multiaset. Dan tentunya memerlukan solusi
yang komprehensif untuk mengatur tindakan cancel
culture. Misalkan, lebih bijak menyerap berita dan bersosial media, meningkatkan literasi terhadap isu-isu yang beredar untuk menelusuri
suatu informasi yang sedang diperbincangkan agar cancel culture dapat dilakukan dengan baik dan tidak salah sasaran.
:: Tulisan ini telah terbit sebelumnya di sulsel.pojoksatu.id dengan judul yang sama
Komentar