Al-Qur’an yang Teralienasi
Oleh Hamdan eSA (Dosen Ilmu Komunikasi Unasman)
Ali sedang membersihkan rak bukunya ketika tangannya
menyentuh sesuatu yang berdebu. Ia menariknya pelan—ternyata sebuah mushaf
Al-Qur’an. Ia meniup debu di sampulnya, lalu tersenyum kecut. "Sudah lama
sekali", gumamnya.
Dulu, saat kecil, ia rajin mengaji bersama kakeknya. Setiap
malam, mereka membaca Al-Qur’an bersama. Kakeknya selalu berpesan, "Jangan
biarkan Al-Qur’an hanya jadi pajangan. Baca, pahami, amalkan". Tapi
setelah kakeknya wafat, kebiasaan itu ikut menghilang.
Ali membuka halaman pertama, melihat pesan itu tampak berupa
catatan kecil di pinggir kertas—tulisan tangan kakeknya sendiri. Ia terdiam
sejenak, lalu tiba-tiba ponselnya bergetar di meja. Notifikasi muncul:
"Jangan lupa baca Al-Qur’an hari ini"!
Ia melirik layar, lalu menghela napas. Sejak dulu, ia sudah
mengunduh aplikasi Al-Qur’an digital di ponselnya. Tapi sejujurnya, ia lebih
sering mengabaikan notifikasi itu dibandingkan membukanya.
Ali mengambil ponselnya, membuka aplikasi, dan mulai membaca
satu ayat. Tapi setelah beberapa detik, ia tergoda untuk mengecek pesan masuk.
Lalu, tanpa sadar, beralih ke media sosial.
Beberapa menit berlalu. Ia kembali menatap mushaf yang masih
terbuka di pangkuannya. Entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ia menutup
aplikasi di ponsel, lalu kembali membaca mushaf yang sudah lama terabaikan itu.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia
membaca Al-Qur’an tanpa gangguan.
***
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan sebagai pedoman
hidup bagi umat manusia. Ia mengandung nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan
kebijaksanaan yang seharusnya menjadi panduan dalam membangun peradaban yang
beradab. Namun, semakin "ke sini", Al-Qur’an nampaknya mengalami proses
alienasi—terpinggirkan secara individu, lalu terasingkan dari kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan bahkan spiritual umat Islam sendiri.
Fenomena ini bukan sekadar karena faktor eksternal, tetapi
juga akibat sikap internal umat Islam yang memposisikan Al-Qur’an sebagai symbol
sakral dan symbol kemuliaan tanpa penghayatan mendalam. Al-Qur’an diperingati
kedatangannya, tetapi diabaikan keberadaannya.
Alienasi terjadi ketika sesuatu kehilangan peran dan
relevansinya dalam kehidupan nyata, baik secara individu maupun sosial. Dalam
konteks Al-Qur’an, alienasi terjadi saat kitab suci ini tidak lagi menjadi
sumber nilai utama, melainkan hanya sebatas formalitas atau ritual seremonial.
Bentuk alienasi ini tampak dalam berbagai aspek. Al-Qur’an
sering dibaca tanpa dipahami. Mungkin banyak orang menjadikannya bacaan harian,
namun tidak berusaha menggali maknanya lebih dalam. Mungkin pula ada yang
memahami isi Al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya. Nilai-nilai yang diajarkan
hanya menjadi teori tanpa penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian akademis tentang Al-Qur’an juga sering terjebak dalam
diskusi teoretis yang jauh dari realitas sosial. Tidak sedikit penelitian
keislaman yang mendalami tafsir, sejarah, atau linguistik Al-Qur’an, tetapi belum
menghasilkan solusi konkret bagi permasalahan masyarakat.
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an menghadapi
tantangan besar saat ini. Sebuah era
yang mengantarkannya menjadi teralienasi, terasing dalam kehidupan umatnya.
Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena ini antara lain
sekularisasi, materialisme, pemahaman yang kaku, pengaruh media, dan reduksi
perannya dalam pendidikan.
Sekularisasi di banyak negara menjauhkan agama—termasuk
Al-Qur’an, dari ranah publik, seperti kebijakan negara, ekonomi, dan hukum.
Kitab suci ini semakin dianggap hanya relevan dalam ibadah, bukan sebagai
pedoman dalam berbagai aspek kehidupan. Ia layaknya obat pelarian, hanya dicari
saat seseorang sedang didera sakit atau problema hidup.
Selain itu, budaya materialisme dan individualisme mendorong
masyarakat lebih berorientasi pada kesuksesan duniawi. Akibatnya, nilai-nilai
Al-Qur’an tentang keadilan sosial, kepedulian terhadap sesama, dan
kesederhanaan semakin terpinggirkan, tidak penting. “Epenkah”? Meminjam istilah
Pace Bertus Mop.
Di sisi lain, tidak dapat disangkal, ada kelompok yang
memahami Al-Qur’an secara kaku dan literal tanpa mempertimbangkan konteks
sosial dan historis. Hal ini membuat ajaran Islam sulit diadaptasi dalam
kehidupan modern, sehingga terkesan tidak relevan.
Perkembangan teknologi dan media sosial juga berkontribusi
terhadap alienasi ini. Distraksi digital membuat manusia lebih banyak
menghabiskan waktu dengan hiburan daripada mendalami isi Al-Qur’an.
Faktor lainnya adalah berkurangnya peran Al-Qur’an dalam
pendidikan. Di banyak tempat, pendidikan agama Islam semakin berkurang,
sehingga generasi muda tidak memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kitab
suci ini. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang lebih mengutamakan rasionalitas
modern daripada nilai-nilai spiritual yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Semua
faktor ini mempercepat keterasingan Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat
Muslim.
Alienasi Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat membawa dampak
serius, terutama dalam aspek moral, identitas, dan esensi keberagamaan. Ketika
ajaran Al-Qur’an tidak lagi dipandang penting, krisis moral dan sosial pun
semakin nyata. Korupsi, ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, serta
rendahnya kepedulian terhadap sesama menjadi fenomena yang umum terjadi.
Selain itu, Al-Qur’an merupakan pusat identitas umat Islam.
Ketika nilai-nilainya terabaikan, umat kehilangan pijakan dalam menghadapi
tantangan globalisasi dan modernisasi. Hal ini membuat mereka mudah terpengaruh
oleh ideologi lain yang melemahkan solidaritas dan prinsip Islam.
Di sisi lain, tidak jarang, Islam hanya dipahami secara
formalitas. Ia semarak terlihat dalam simbol-simbol seperti pakaian, arsitektur
masjid, atau ajang lomba, tetapi tidak diimplementasikan dalam keadilan sosial,
pemerintahan yang bersih, dan perilaku individu yang mencerminkan nilai-nilai
Al-Qur’an.
Untuk membangkitkan kembali peran Al-Qur’an dalam kehidupan,
diperlukan upaya strategis agar kitab suci ini menjadi pedoman utama umat
Islam. Al-Qur’an harus dibaca dengan pemahaman mendalam, bukan sekadar
ritual. Tafsirnya perlu dikembangkan agar relevan dengan isu-isu sosial
seperti keadilan, ekologi, dan teknologi.
Selain itu, pendidikan Islam harus menjadikan Al-Qur’an
sebagai pusat kurikulum, tidak hanya dalam hafalan tetapi juga pemahaman dan
pengamalannya. Dakwah juga perlu lebih humanis, menekankan nilai-nilai kasih
sayang dan solusi kehidupan. Terakhir, pemanfaatan teknologi digital dapat
membantu generasi muda lebih dekat dengan Al-Qur’an melalui tafsir dan kajian
yang mudah diakses. Membumi, bukan melangit.
Nuzulul Qur’an pada setiap Ramadhan, mestinya tidak sekedar
moment peringatan turunnya, melainkan juga sebagai penyambutan atas kedatangannya
kembali ke konteks yang baru.
Wallahu a’lam.
Madatte Polewali Mandar, 20 Maret 2025.
Komentar