Masjid dan Segregasi Gender

 

Hamdan eSA (Dosen Ilmu Komunikasi Unasman)

Seorang ibu muda datang ke masjid bersama suaminya menjelang magrib. Suaminya langsung masuk ke pintu utama, sementara ia mencari pintu untuk perempuan. Setelah bertanya kepada petugas, ia diarahkan ke ruangan di belakang, terpisah oleh tirai tebal.

Di dalam, beberapa perempuan lain sudah duduk, sebagian membawa anak kecil. Ruangan itu lebih kecil dibandingkan ruang utama, dengan pengeras suara yang menyampaikan suara imam dari kejauhan. Saat shalat dimulai, anak-anak kecil berlarian, sementara seorang ibu mencoba menenangkan bayinya yang mulai menangis.

Usai shalat, ia keluar bersamaan dengan jamaah perempuan lain, berjalan melewati halaman masjid yang sudah mulai ramai dengan pedagang makanan. Sambil menggandeng anaknya, ia melihat suaminya berdiri di dekat pintu utama, berbincang dengan beberapa temannya sebelum akhirnya mereka pulang bersama.

***

Pembahasan kali ini, masih terkait dengan pembahasan sebelumnya tentang masjid sebagai ruang sosial, di mana setiap orang saling berinteraksi, saling kenal, dan membangun hubungan-hubungan sosial. Kali ini pembahasannya lebih spesifik, yakni tentang masjid dan segregasi gender.  

Sangat menarik karena mengungkap bagaimana konstruksi sosial terhadap gender terwujud dalam tata ruang ibadah. Masjid, sebagai ruang ibadah utama dalam Islam, tidak hanya berfungsi sebagai tempat spiritual tetapi juga sebagai arena sosial yang mencerminkan nilai-nilai masyarakatnya.

Tata ruang masjid sering kali menunjukkan adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan, yang dapat diinterpretasikan dari berbagai perspektif.

Dalam perspektif tradisional, banyak masjid menerapkan segregasi ketat, di mana perempuan memiliki ruang tersendiri di belakang, di lantai atas, atau bahkan di area terpisah. Pemisahan ini lebih sering didasarkan pada konsep ‘kesopanan’ dan ‘kehormatan’ perempuan dalam ruang publik.

Dalam perspektif sosial-budaya, pada masyarakat patriarkal, pembagian ruang seperti ini juga mencerminkan struktur sosial yang lebih luas, di mana laki-laki lebih banyak mendapatkan ruang di sektor publik dibanding perempuan.

Dalam perspektif praktis, beberapa masjid menyediakan ruang yang lebih kecil untuk perempuan dengan fasilitas yang kurang memadai, mencerminkan asumsi bahwa jumlah jamaah perempuan lebih sedikit atau partisipasi mereka dalam aktivitas masjid lebih terbatas.

Lalu, jika kita bertanya, apakah perempuan memiliki akses yang sama di masjid? Tentunya akan sangat tergantung dari lokasi, budaya, dan kebijakan pengelola masjid. Mungkin kita masih dapat menjumpai, perempuan sering kali tidak mendapatkan akses ke ruang utama masjid. Hanya ada sedikit ruang, entah di pojok belakang, tengah, atau lantai atas.

Juga mungkin kita masih menjumpai, fasilitas seperti toilet, tempat wudhu, dan ruang ibadah untuk perempuan sering kurang diperhatikan. Dan apalagi, lebih sering kita jumpai, perempuan dibatasi dalam kegiatan tertentu, seperti tidak boleh memberi ceramah atau memiliki peran kepemimpinan dalam masjid.

Namun tidak semua seperti itu, ada juga perubahan di tempat lain. Beberapa masjid mulai lebih inklusif, menyediakan ruang yang nyaman dan setara bagi perempuan.

Di beberapa komunitas muslim—yang jika boleh disebut—progresif, perempuan juga memiliki peran lebih aktif dalam aktivitas masjid, termasuk mengajar, berdiskusi, dan menjadi pemimpin komunitas.

Segregasi gender dalam masjid sering kali dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, praktik ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor budaya daripada dalil agama yang eksplisit.

Hadis-hadis yang menegaskan bahwa rumah atau kamar adalah tempat yang lebih baik bagi perempuan untuk shalat, lebih menunjukkan pada keadaan khusus terutama terkait gangguan keselamatan dan kehormatan perempuan pada masa itu.

Pada masa Nabi Muhammad, laki-laki dan perempuan tidak dipisahkan secara kaku dalam masjid. Perempuan dapat hadir dalam shalat berjamaah di masjid, bahkan berdiskusi dan bertanya langsung kepada Nabi. Sejumlah hadis menyebutkan bahwa perempuan tidak dilarang untuk datang ke masjid, meskipun dianjurkan untuk menjaga adab dan kesopanan.

“Jangan kalian larang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah” (HR. Bukhari No. 900 dan Muslim No. 442).

Ibnu Umar menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila perempuan-perempuan kalian minta izin keluar rumah di malam hari untuk pergi ke masjid, maka izinkanlah.” (HR. Bukhari 873; Muslim 1019; Imam Ahmad 289).

Dari Urwah bin Zubair, ia meriwayatkan bahwa Aisyah Ra berkata, “Kami para perempuan mukmin biasa hadir mengikuti Rasulullah Saw shalat Subuh dengan pakaian wol kami. Kami lalu bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat. Karena pagi masih buta dan gelap, seseorang masih belum bisa mengenali kami.” (HR. Bukhari 578; Muslim 1491; Imam Dawud 423; Imam Nasa’i 550; Imam Ahmad 24645).

Ibnu Umar mengatakan bahwa istri Umar bin Khattab selalu ikut shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid. Ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu masih keluar rumah, padahal kamu tahu suamimu, Umar, membenci hal ini dan cemburu?” Ia menjawab, “Mengapa ia (Umar) tak melarangku sekalian”? “Umar tak melarangmu karena ada penyataan dari Rasulullah Saw: Janganlah melarang perempuan yang ingin mendatangi masjid-masjid Allah”. (HR Bukhari 908; Muslim 1018; Imam Dawud 565; Imam Ahmad 4745).

Hadis ini mencerminkan budaya pra-Islam yang mengekang perempuan dari aktivitas publik, termasuk ibadah di masjid. Pandangan yang menganggap laki-laki bebas beraktivitas kecuali dilarang, sementara perempuan dilarang kecuali diizinkan, masih bertahan di sebagian masyarakat.

Nabi Muhammad Saw. menegaskan, "Janganlah melarang perempuan yang mau pergi ke masjid-masjid". Saat itu, masjid adalah pusat aktivitas publik, baik ritual, sosial, maupun politik. Pernyataan ini mengingatkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan manfaat dari ruang publik.

Meskipun sulit diterima, bahkan oleh Umar bin Khathab Ra., ia tetap mengikuti perintah Nabi. Islam menegaskan kesetaraan dalam memperoleh kebaikan dan menolak diskriminasi, menjadikannya rahmat bagi semua, baik laki-laki maupun perempuan.

Untuk menciptakan ruang masjid yang lebih inklusif bagi perempuan tanpa mengurangi aspek sakralitas, ada beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan.

Merancang tata ruang yang aksesibel dan nyaman, dengan memberikan ruang yang setara bagi perempuan, bukan hanya sudut sempit atau lantai atas yang kurang nyaman.

Menyediakan fasilitas yang layak, seperti tempat wudhu yang bersih dan ruang ibadah yang memadai. Tidak menutup perempuan dari aktivitas sosial di dalam masjid, seperti kajian, diskusi, atau kepemimpinan komunitas.

Mengedukasi masyarakat tentang peran perempuan dalam islam. Perlu ada pendekatan edukatif tentang bagaimana Islam awal memperlakukan perempuan dalam ruang ibadah. Penting pula membuka ruang dialog. Masyarakat bisa berdiskusi tentang bagaimana menjadikan masjid sebagai ruang inklusif tanpa mengorbankan nilai-nilai agama. Memfasilitasi komunikasi antara pengelola masjid dan jama’ah perempuan agar kebutuhan mereka didengar dan diperhatikan.

Wallahu A’lam.

Banga, 10 Maret 2025.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswi Komunikasi Unasman Raih Juara 1 Lomba Karya Ilmiah HUT Lalu Lintas Bayangkara Ke-69

HMTI Unasman Selenggarakan Malam Inagurasi Enc24ption Angkatan 24

Dosen Unasman Memberi Sosialisasi Etika Bermedsos