Membaca Masjid sebagai Wacana
Hamdan eSA (Dosen Ilmu Komunikasi Unasman)
Setiap kali Ramadhan tiba, Masjid Raya di pusat kota berubah drastis. Di siang hari, masjid lengang, hanya diisi segelintir orang yang benar-benar ingin beribadah atau sekadar beristirahat sejenak dari teriknya jalanan. Namun, menjelang malam, suasana masjid berubah total. Lampu-lampu masjid bersinar megah, pengeras suara mengumandangkan lantunan ayat suci, dan halaman masjid penuh dengan orang-orang yang datang dalam tampilan terbaik mereka.
Di sudut serambi, seorang pria paruh baya duduk bersila, bersarung biasa dan kopiah yang mulai memudar. Ia mengamati orang-orang berdatangan—ada yang sibuk mengabadikan momen dengan ponsel, ada yang mengambil foto selfie dengan latar belakang masjid megah. Beberapa tampak berbincang tentang donasi yang diberikan oleh seorang pejabat untuk renovasi mihrab. Sekelompok pemuda membicarakan betapa indahnya masjid ini untuk konten media sosial.
Sebelum azan Isya berkumandang, seorang pria muda dengan setelan koko mahal mendekati pria paruh baya itu, duduk bersisian, lalu dengan nada rendah berkata; “Pak, Bapak sering ke sini? Wah, beruntung sekali. Masjid ini sekarang luar biasa megah. Ada air mancur, lantainya marmer, bahkan ada kafe halal di sampingnya. Banyak influencer yang sering ke sini juga, fotonya bagus-bagus".
“Iya sudah begitu berbeda dengan dulu”. Jawab lelaki paruh baya itu.
“Dulu bagaimana Pak”? Si anak muda seolah penasaran.
lelaki itu diam beberapa saat, dan berkata pelan, "Dulu masjid rumah Allah. Sekarang, kadang rasanya lebih seperti pusat gaya hidup Islami”.
Anak muda itu tertawa kecil. "Tapi kan, Pak, ini bagian dari perkembangan zaman. Kalau masjid lebih indah dan nyaman, makin banyak orang yang datang, makin banyak yang shalat berjamaah”.
Pria itu tersenyum, menatap ornamen kaligrafi emas menghiasi tembok masjid, lalu berkata, “Dulu, orang ke masjid mencari Tuhan. Sekarang, banyak yang mencari sorotan”.
Sang pemuda terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, seakan memahami sesuatu—atau mungkin, ia justru merasa dirinya bagian dari fenomena yang disebut pria tadi.
***
Dalam pandangan Michel Foucault, wacana bukan hanya soal bahasa atau percakapan, tetapi sebuah sistem pengetahuan yang membentuk cara kita memahami dunia. Lalu, wacana menciptakan kategori, norma, dan kebenaran yang diakui dalam suatu masyarakat.
Agak beda dengan itu, Stuart Hall memandang wacana adalah bagian dari sistem representasi, yang berarti bahwa makna sesuatu tidak pernah tetap—ia selalu bisa diinterpretasikan ulang oleh masyarakat dan media. Jika Foucault lebih melihat wacana sebagai sesuatu yang dikendalikan oleh kekuasaan, maka Hall percaya bahwa masyarakat juga bisa mengubah makna suatu wacana.
Bila hendak memadukan Foucault dan Hall, kita bisa memahami bahwa masjid bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi juga sebuah wacana yang dikonstruksi, dikendalikan, dan diinterpretasikan ulang oleh berbagai pihak.
Dengan begitu, wacana adalah konstruksi sosial. Apa yang kita anggap sebagai "benar" tentang suatu hal (termasuk masjid) dibentuk oleh kuasa dan sejarah. Wacana, menentukan siapa yang boleh berbicara dan bagaimana sesuatu dibicarakan. Siapa yang punya kuasa untuk menentukan arti masjid—apakah ulama, pemerintah, arsitek, atau media sosial? Wacana menciptakan subjek dan objek. Masjid bukan hanya tempat fisik, tetapi juga ruang yang mengatur perilaku, membentuk identitas, dan menciptakan hierarki sosial dalam komunitas Muslim.
Pada masa Nabi Muhammad, masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang publik utama bagi komunitas Muslim. Masjid Nabawi di Madinah menjadi tempat musyawarah, pendidikan, dan pengambilan keputusan politik. Dalam konteks ini, masjid bermakna pusat pemerintahan. Nabi sendiri menerima tamu, menyelesaikan sengketa, hingga mengatur strategi perang di dalam masjid.
Kaum miskin dan para sahabat yang tidak memiliki rumah (Ahlus Suffah) tinggal di masjid, menunjukkan bahwa masjid adalah ruang egaliter bagi semua lapisan masyarakat. Dalam hal ini, masjid bermakna pusat sosial. Wakaf dan sedekah sering kali dikelola melalui masjid, yang berfungsi sebagai pusat distribusi kesejahteraan sosial. Dengan begitu masjid bermakna pusat ekonomi.
Wacana masjid pada masa ini adalah wacana keterbukaan dan inklusivitas. Masjid bukan hanya ruang sakral, tetapi juga ruang publik utama yang mengatur kehidupan umat Islam.
Seiring perkembangan peradaban Islam dan munculnya kekhalifahan serta kesultanan, makna masjid mengalami pergeseran. Masjid menjadi simbol legitimasi kekuasaan. Para sultan dan khalifah membangun masjid besar dan megah untuk menunjukkan kekuatan dan otoritas mereka sebagai pemimpin Islam. Contoh nyata adalah Masjid Sultan Ahmed (Turki) atau Masjid Agung Cordoba (Spanyol) yang memperlihatkan dominasi politik dan budaya Islam.
Selain itu, hierarki sosial mulai terlihat dalam masjid. Jika pada masa Nabi masjid bersifat egaliter, pada masa kesultanan raja dan bangsawan memiliki tempat khusus dalam masjid, baik secara fisik (tempat duduk khusus) maupun dalam pengaruhnya terhadap imam dan pengelolaan masjid.
Masjid juga sebagai pusat kontrol keagamaan. Penguasa mengangkat ulama yang setia kepada mereka sebagai khatib atau imam, sehingga ceramah di masjid sering kali menjadi alat legitimasi politik penguasa.
Wacana masjid pada masa ini adalah wacana otoritas dan hierarki. Masjid tidak lagi sekadar ruang publik, tetapi menjadi simbol kekuatan politik yang dikendalikan oleh negara atau kerajaan.
Di era modern dan globalisasi, makna masjid semakin kompleks. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi bagian dari strategi branding Islam dan bahkan bagian dari kapitalisme religius.
Masjid kini menjadi simbol identitas Islam modern. Di banyak negara Muslim, pembangunan masjid besar dan mewah menjadi cara untuk menunjukkan eksistensi Islam dalam modernitas. Contohnya, Masjid Sheikh Zayed di Uni Emirat Arab yang lebih banyak dikunjungi sebagai objek wisata daripada tempat ibadah sehari-hari. Miniaturnya, hadiah dari Pangeran Uni Emirat Arab (UEA), Syeikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan untuk Presiden Jokowi, dibangun di Banjarsari Solo, pertengahan 2021.
Masjid kini sering dikaitkan dengan narasi kebangkitan Islam, perlawanan terhadap Barat, atau bahkan nasionalisme Islam. Negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi menggunakan pembangunan masjid di luar negeri sebagai soft power diplomacy untuk memperluas pengaruhnya. Demikianlah, masjid sebagai wacana politik identitas.
Lebih jauh lagi, banyak masjid modern dikelilingi oleh pusat perbelanjaan Islam, hotel syariah, dan kompleks bisnis. Masjid tidak lagi hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga menjadi bagian dari ekonomi Islam yang menguntungkan industri halal dan pariwisata religi.
Dengan begitu, wacana masjid pada era modern adalah wacana komodifikasi dan branding. Masjid bukan lagi hanya tempat ibadah, tetapi juga alat pemasaran identitas Islam dan bagian dari ekonomi religius.
Oleh karenanya, membaca masjid sebagai wacana, kita dapat melihat bahwa makna masjid tidak pernah tetap—ia selalu berubah sesuai dengan konteks sejarah, sosial, dan ekonomi.
Wallahu A’lam.
Banga, 8 Maret 2025
Komentar