Postingan

kupu-kupu kebunku

Gambar
cerpen hamdan Hatiku benar-benar jatuh tak berdaya, terpikat pada kupu-kupu sejak pertama kali melihat seekor di kebunku. Aku tidak membenci kupu-kupu, bahkan sering melihatnya di banyak tempat. Tapi lain dengan yang satu ini. Ia begitu saja mengalir dengan cepatnya menembus lorong-lorong saraf, menampik akal sehat, melewatinya dan langsung memenuhi ruang batinku. Kedatangan yang tiba-tiba itu tentu saja mendebarkan hati dengan sangat kencang. Aku seperti mendapat serangan pasukan Archilles yang keluar dari Kuda Troy setelah menyelinap masuk ke istana. Lalu perlahan pula ia mengalir ke ruang imajinasiku, memenuhinya dan bahkan membungkusnya dengan beludru sayapnya. Ah… getaran itu, detaknya semakin kencang. Lebih kencang dari serangan sinar matahari terhadap subuh. Apa yang telah terjadi? Aku tak pernah berhasil setiap kali mencoba menyusun kata untuk menjelaskan. Waktu itu aku sedang di rumah, tepatnya di belakang kamarku menikmati pagi yang menyisahkan kesejukan hujan yang d...

tantang kerbau itu

Gambar
cerpen hamdan Masih sangat pagi. Bahkan burung-burung baru satu dua kali mengicau. Tapi pak Soboyo sudah teriak meraung. Wajahnya sekejap memerah dialiri air mata. Suaranya pun seolah memecah sejuk-sepi dusun, menggetarkan rumahnya yang telah miring dimakan waktu. Di tiang pintu kandang, ia tersandar duduk tak berdaya. Tanah becek oleh kotoran kerbau menyelup pantatnya. Tatapan kosong menerawang. Setelah cukup lama, raungan itu melemah sebagai suara tangis biasa. Ia baru saja mengetahui bila dua ekor kerbaunya lenyap dari kandang di belakang rumah. Warga sekitar terbangun dan berdatangan menuju kandang. Beberapa orang berusaha mengangkat pak Soboyo, tetapi ia seperti terikat erat di tiang. Seorang yang lain berusaha membujuk menyabarkan hatinya. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya tangis yang terus terdengar. Beberapa yang lain mencoba mengikuti jejak kerbau. Agak sulit menandai bekas kuku kerbau karena jalan berbatu dan berumput. Apalagi semalam hujan cukup deras. Sedikit p...

ikan asin ayah

Gambar
cerpen hamdan Angin yang datang pagi itu terasa cukup dingin meskipun hembusannya tidak terlalu kencang. Dari arah laut, ia telah melewati dua-tiga bukit yang dipenuhi rimbun ragam pohonan, hingga hembusannya telah melemah ketika masuk ke jendela kamarku, jendela tanpa gorden, apalagi daun penutup. Angin seperti ini biasa bagi kami yang hidup di wilayah pesisir meski terhitung agak jauh dari bibir pantai. Dengan angin itu, sebenarnya aku masih enggan melepas sarung yang menyelimuti badan, tetapi warna pagi serta kicauan burung seolah mendesakku untuk bangun melawan dingin dan melakukan aktivitas rumah. Aku harus membantu ibu, ayah, dan adikku. Serta yang yang lebih penting keceriaan kami setiap hari, apalagi dengan adik kecilku yang semakin lincah berjalan, bermain, tertawa, walau masih menyusu. Aku baru saja terbangun saat di bilik sebelah, adikku masih disusui ibu. Dari jendela, ayah tampak sedang bersiap-siap bekal turun ke laut mencari ikan. Ia akan kembali saat senja menjelang...

kedip kecil kemuning

Gambar
cerpen hamdan Setiap kali cakrawala malam datang ketika gemintang sedang memainkan tarian kedipnya, aku seperti terjebak dalam penjara malam. Jerujinya terbuat dari senyawa baja kemuliaan dan cinta, sangat kokoh dan rapat menutupi lubang yang memungkinkan jiwaku dapat keluar. Selalu saja aku mendatangimu yang mewujud di keramaian cakrawala malam itu. Mencarimu di antara reramai kedip gemintang. Selalu saja aku yang sembunyi di balik pandang mata, kembali menatapmu bintang kecil kemuningku. Selalu saja aku harus memberi pandang lebih awal padamu. Lalu mungkin beberapa kesempatan kepada gemintang lainnya. Kedip mungilmu, cahaya senyummu, membuatku tak kuasa untuk sekejap saja berpaling memandang yang lain, apalagi mengeluarkanmu sedetik dari ingatan nuraniku. Ya, jerujinya sangat kokoh. Kini, senyawa itu tidak lagi menjadi jeruji, tetapi menjadi jajaran bidara yang teduh di dalam firdaus dan buahnya memandarkan kedipan cahaya hati. Ruang jeruji itu telah menjadi ruang surg...

waktu meneror

Cerpenku “Beritahulah aku tentang waktu!” “Waktu? Waktu hanyalah siang, lalu malam, dan pergantiannya. Di antara itu ada subuh dan pagi, ada sore dan petang. Begitu seterusnya; sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, sezaman, dan sejarah”. Mendapat jawaban, dengan wajah tanpa reaksi, penanya segera saja berterima kasih dan pergi berlalu. Menghilang dalam kesibukan pagi kota. Hilang seperti tanpa waktu. Sementara orang yang ia tanya tinggal melongok dengan mulut ternganga diganjal rasa aneh. Aneh! Tapi kemudian ia belok juga ke kantornya. Ia seorang karyawan, orang kantoran, budak atau mungkin juga majikan sang waktu. Peduli amat. Mungkin yang bertanya tadi seorang supervisior publik di kantor ini, pikirnya. Mungkin dengan cara begitu; menyindir tentang waktu, ia bermaksud menegur atau membina karyawan yang kurang disiplin. Ah, jika benar, itu hanya sebatas cara dan strategi yang sedikit halus, yang berarti juga muslihat. Benar! Muslihat! Manajemen kan juga muslihat. Siapa yang bisa...

kampung dalam shalatku

Gambar
Cerpenku “Allahu akbar Allahu akbar! …” Lafaz-lafaz iqamat dari sebuah mushallah kecil rumah sakit itu mengawali shalat jama’ah Maghrib. Aku dan dua teman terperangah dengan waktu yang terasa semakin cepat melalui menara mungil sebuah mushallah. Lafaz dari speaker menara betul-betul telah mendapatkan otoritasnya. Seperti di tempat lain, dari menara-menara masjid yang berlimpah, speaker masjid juga telah mendapatkan otoritas yang luar biasa, dari dan untuk sebagian ummat Islam. Tapi sebenarnya kini, apalagi di kota-kota terbilang maju, lafaz-lafaz dari speaker masjid lebih berfungsi sebagai klakson yang sengaja dibunyikan untuk meminta sedikit peluang lewat. Ya, semacam interupsi jalanan. “Ash-shalatu jaami’ah rahimakumullah! Luruskan shaf dan rapatkan!” Diskusi kami dibuatnya terputus, diskusi yang kami sendiri sudah lupa awal dari mana dan untuk apa, diskusi tentang birokrasi dinegeri ini. Birokrasi kacau, untuk tidak menyebut hancur. Hampir setengah jam ngobrol kami be...

BINTANG KECIL; SEPI

hamdan tuhan yang menyiapkan bijian mentari bulan dan bintang untuk memberi cahaya jika engkau izinkan sempatkan aku mengembarai sepi di belantara yang gila ini cukuplah aku sebiji bintang kecil yang mengedipkan sunyi pada gulitanya malam hadirnya tidak mengusik mentari bulan gemintang lainnya tapi secukup membantu benderangnya malam kata bintang kecil; “tidak semua kita harus menjadi mentari atau bulan” bintang kecil tak pernah menanggal lepas kedip kemuning dan senyum mungil sepinya atau menenteng bonceng pergi untuk sekedar mencicipi rasa cakrawala cahaya bintang kecil sepi tasyakur dan ikhlas dengan keadaannya; diselimut gelap dicibir kabut diejek mendung disambar petir dipadam siang dirayu bulan ia tetap bintang kecil kedip kemuning senyum mungil sepinya tak perlu risau ia akan selalu trima dan beri senyum dalam zikir kerlip bintang kecil sepi; hanya yang mendekatnya yang dapat melihatnya besar :seperti juga tuhan cahaya kemuliaan; tak terbatas ruang waktu yang berubah tak ada leb...